HUKUM BADAL HAJI
| Badal Haji (Menghajikan   Orang yang Sudah Meninggal) apa hukumnya??? setelah saya cari –cari di internet dan saya bertanya kepeda ulama-ulama yang ada di daerah saya apa sihh hukum badal haji dan syarat-syaratnya, untuk lebih jelasnya marii kita baca di bawah ini… | 
| Assalamu'alaikum wr. wb. Berikut ketentuan ibadah yang boleh dilakukan untuk orang lain : 1. Ibadah murni fisik, seperti shalat dan zakat tidak boleh diniatkan untuk orang lain, karena ibadah ini tidak boleh digantikan oleh orang lain. 2. Ibadah murni harta seperti zakat dan Qurban : Syafi'ie mengatakan tidak boleh diniatkan untuk orang lain, baik yang masih hidup atau telah meninggal, terkecuali bila almarhum telah mewasiatkannya. Mazhab Maliki mengatakan makruh dan mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan boleh. Dalam sebuah hadist Rasulullah menyembelih dua ekar domba gemuk, satu untuk diri beliau dan satu lagi untuk umatnya yang beriman.(H.R. Dar Quthni) 3. Ibadah yang mengandung unsur fisik dan harta seperti Haji : Mayoritas ulama mengatakan boleh dan hanya mazhab Maliki yang mengatakan tidak boleh. Landasan pendapat ini bisa di lihat dalam pembahasan di bawah. Dalil yang mengatakan tidak sah adalah nash-nash umum yang mengatakan bahwa orang yang sudah meninggal telah terhenti amalnya, seperti hadist yang mengatakan "Apabila Bani Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, Sodaqoh Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya" (H.R. Muslim dan Abu Harairah) dan nash-nash yang mengatakan bahwa seseorang hanya mendapatkan pahala atau dosa dari perbuatannya. 4. Bacaan-bacaan untuk orang yang sudah meninggal: Ibadah yang sampai kepada orang yang telah meninggal dunia adalah do'a, Istighfar (memintakan ampunan). Membaca al-Qur'an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal oleh sebagian ulama Syafi'i dan ulama Hanafi, insya Allah sampai kepada mayit tersebut. Imam Subki (ulama terkemuka mazhab Syafi'i) mengatakan : dari dalil-dalil yang ada kita bisa menyimpulkan bahwa bacaan al-Qur'an yang ditujukan kepada mayit akan bermanfaat untuknya. Ibnu Solah juga mengatakan sebaiknya diniatkan bahwa pahalanya dikirimkan kepada mayit. Landasan yang mengatakan bahwa ibadah tersebut sampai kepada mayit adalah hadits yang mengatakan "Bacalah untuk orang yang meninggal dunia, surat Yasin", begitu juga dalil-dalil yang menganjurkan puasa dan menjalankan haji untuk orang yang telah meninggal. Demikian juga ada hadits yang mengatakan "Barangsiapa mengunjungi kuburan kemudian membaca surat Yasin, maka Allah akan meringankan penghuni kuburan tersebut, dan bagi pembacanya akan mendapatkan pahala" (hadits ini disebut dalam Bahrurra'iq, karangan Zaila'i (Hanafi) dan sanadnya lemah). Riwayat dari Imam Syafi'i dan Ahmad mengatakan ibadah tersebut tidak sampai kepada mayit, seperti shalat qadla untuk mayit. Riwayat dari Imam Malik mengatakan makruh karena tidak dilakukan oleh ulama terdahulu. Masalah menghajikan orang lain   Pendapat ulama yang mengatakan boleh menghajikan orang lain, dengan syarat   bahwa orang tersebut telah meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji,   atau karena sakit berat sehingga tidak memungkinkannya melakukan ibadah haji   namun ia kuat secara finansial. Ulama Haanfi mengatakan orang yang sakit atau   kondisi badanya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji namun mempunyai   harta atau biaya untuk haji, maka ia wajib membayar orang lain untuk   menghajikannya, apalagi bila sakitnya kemungkinan susah disembuhkan, ia wajib   meninggalkan wasiat agar dihajikan. Mazhab Maliki mengatakan menghajikan   orang yang masih hidup tidak diperbolehkan. Untuk yang telah meninggal sah   menghajikannya asalkan ia telah mewasiatkan dengan syarat biaya haji tidak   mencapai sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mazhab Syafi'i mengatakan   boleh menghajikan orang lain dalam dua kondisi; Pertama : untuk mereka yang   tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena tua atau sakit sehingga tidak   sanggup untuk bisa duduk di atas kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai   harta wajib membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun tidak   termasuk biaya orang yang ditinggalkan. Kedua orang yang telah meninggal dan   belum melaksanakan ibadah haji, Ahli warisnya wajib menghajikannya dengan   harta yang ditinggalkan, kalau ada. Ulama syafi'i dan Hanbali melihat bahwa   kemampuan melaksanakan ibadah haji ada dua macam, yaitu kemampuan langsung,   seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada juga kemampuan yang   sifatnya tidak langsung, yaitu mereka yang secara fisik tidak mampu, namun   secara finansial mampu. Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji. Dalil-dalil : 1. Hadist riwayat Ibnu Abbas   "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah   "Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan   tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah   haji untuknya?" Jawab Rasulullah "Ya, berhajilah untuknya"   (H.R. Bukhari Muslim dll.). 2. Hadist riwayat Ibnu Abbas   " Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Rasulullah s.a.w.   bertanya "Rasulullah!, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah   haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji   tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab   "Hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib   membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk   dipenuhi" (H.R. Bukhari & Nasa'i). 3. "Seorang lelaki datang   kepada Rasulullah s.a.w. berkata "Ayahku meninggal, padahal dipundaknya   ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah   menjawab "Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu   juga wajib membayarnya ? "Iya" jawabnya. Rasulullah berkata   :"Berahjilah untuknya". (H.R. Dar Quthni)  4. Riwayat Ibnu Abbas, pada   saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata   "Labbaik 'an Syubramah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah,   untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubramah?".   "Dia saudaraku, Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu   sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya.   "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah", lanjut   Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan   "Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah". Hukum   menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama Hanafi   mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti juga   tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an. Dalam sebuah hadist   riwayat Ubay bin Ka'ab pernah mengajari al-Qur'an lalu ia diberi hadiah   busur, Rasulullah bersabda "Kalau kamu mau busur dari api menggantung di   lehermu, ya ambil saja".(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan   kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta   upah" (H.R. Abu Dawud). Sebagian ulama Hanafi dan   mayoritas ulama Syafi'i dan Hanbali mengatakan boleh saja menyewa orang   melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang boleh diwakilkan,   dengan landasan hadist yang mengatakan "Sesungguhkan yang layak kamu   ambil upah adalah Kitab Allah" (Dari Ibnu Abbas H.R. Bukhari). dan   hadist-hadiat yang mengatakan boleh mengambil upah Ruqya (pengobatan dengan   membaca ayat al-Qur;an). Ulama yang mengatakan boleh menyewa orang untuk   melaksanakan ibadah haji, berlaku baik untuk orang yang telah meninggal   maupun orang yang belum meninggal. Ulama Maliki mengatakan makruh menyewa   orang melaksanakan ibadah haji, karena hanya upah mengajarkan al-Qur'an yang   diperbolehkan dalam masalah ini menurutnya. Menyewa orang melaksanakan ibadah   haji juga hanya boleh untuk orang yang telah meninggal dunia dan telah   mewasiatkan untuk menyewa orang melakukan ibadah haji untuknya. Kalau tidak   mewasiatkan maka tidak sah. Syarat-syarat menghajikan orang   lain : 1. Niyat menghajikan orang lain   dilakukan pada saat ihram. Dengan mengatakan, misalnya, "Aku berniyat   melaksanakan ibadah haji atau umrah ini untuk si fulan". 2. Orang yang dihajikan tidak   mampu melaksanakan ibadah haji, baik karena sakit atau telah meninggal dunia.   Halangan ini, bagi orang yang sakit, harus tetap ada hingga waktu haji, kalau   misalnya ia sembuh sebelum waktu haji, maka tidak boleh digantikan. 3. Telah wajib baginya haji, ini   terutama secara finansial. 4. Harta yang digunakan untuk   biaya orang yang menghajikan adalah milik orang yang dihajikan tersebut, atau   sebagian besar miliknya. 5. Sebagian ulama mengatakan harus   ada izin atau perintah dari pihak yang dihajikan. Ulama Syafi'i dan Hanbali   mengatakan boleh menghajikan orang lain secara sukarela, misalnya seorang   anak ingin menghajikan orang tuanya yang telah meninggal meskipun dulu orang   tuanya tidak pernah mewasiatkan atau belum mempunyai harta untuk haji. 6. Orang yang menghajikan harus   sah melaksanakan ibadah haji, artinya akil baligh dan sehat secara fisik. 7. Orang yang menghajikan harus   telah melaksanakan ibadah haji, sesuai dalil di atas. Seorang anak   disunnahkan menghajikan orang tuanya yang telah meninggal atau tidak mampu   lagi secara fisik. Dalam sebuah hadist Rasulullah berkata kepada Abu Razin   "Berhajilah untuk ayahmu dan berumrahlah". Dalam riwayat Jabir   dikatakan "Barang siapa menghajikan ayahnya atau ibunya, maka ia telah menggugurkan   kewajiban haji keduanya dan ia mendapatkan keutamaan sepuluh haji".   Riwayat Ibnu Abbas mengatakan "Barangsiapa melaksanakan haji untuk kedua   orang tuanya atau membayar hutangnya, maka ia akan dibangkitkan di hari   kiamat nanti bersama orang-orang yang dibebaskan" (Semua hadist riwayat   Dar Quthni). Demikian, semoga membantu dan bias bermanfaat dalam kehidupan   kita semua, aminnn…. Wassalamu’alaikum wr.wb.. | 
Sumber :
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=947&Itemid=1
Ust. Jamhari Madjid
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=947&Itemid=1
Ust. Jamhari Madjid
 
 




0 komentar
Posting Komentar